Sukabumi — Polemik terkait wacana penetapan Presiden kedua RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali mengemuka dan memantik respons keras dari berbagai elemen masyarakat. Di tengah upaya bangsa menegakkan keadilan sosial dan memperkuat agenda reformasi, usulan tersebut dinilai dapat mencederai ingatan publik atas pelanggaran HAM dan praktik otoritarianisme pada masa Orde Baru.
Dua dekade lebih setelah Reformasi 1998, sejumlah luka sejarah akibat penindasan politik, pembatasan kebebasan berpendapat, hingga operasi militer di berbagai daerah—mulai Aceh, Timor Timur, hingga Papua—dinilai belum tuntas diusut. Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dianggap berpotensi mengaburkan batas antara pelaku dan pahlawan serta menyinggung rasa keadilan para korban.
Dalam perspektif teori hegemoni Antonio Gramsci, kekuasaan yang bercokol lama tidak hanya bertahan melalui kekuatan koersif seperti militer dan hukum, tetapi juga melalui hegemoni budaya. Upaya penciptaan citra positif terhadap tokoh tertentu dinilai dapat memengaruhi ingatan publik dan membentuk narasi sejarah baru. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, menurut sebagian kalangan, bisa dibaca sebagai langkah membangun hegemoni ingatan yang menempatkan Orde Baru sebagai masa stabilitas, bukan represi.
Sementara itu, dalam teori keadilan transisional (transitional justice) yang dikembangkan pemikir Amerika Serikat, Ruti G. Teitel, negara seharusnya tidak memberikan penghargaan kepada individu yang masih memiliki catatan dugaan pelanggaran HAM berat tanpa proses pengakuan, pengadilan, atau upaya rekonsiliasi yang transparan. Penghargaan semacam itu dianggap berpotensi mengkhianati prinsip moral dan perjuangan korban.
Pernyataan Sikap
Berdasarkan kondisi objektif tersebut, sejumlah kelompok masyarakat menyatakan penolakan terhadap usulan penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Mereka menilai:
1. Gelar pahlawan merupakan simbol moral tertinggi negara, yang selayaknya diberikan kepada sosok yang mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepada figur yang dinilai merepresentasikan praktik pengekangan kebebasan sipil.
2. Pemberian gelar ini berpotensi menurunkan martabat kepahlawanan, sekaligus melukai rasa keadilan korban pelanggaran HAM pada masa Orde Baru.
3. Pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, diminta meninjau ulang usulan tersebut dengan mempertimbangkan aspirasi publik, fakta sejarah, dan prinsip keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kelompok penolak menegaskan bahwa kepahlawanan tidak lahir dari kekuasaan, tetapi dari keberanian menegakkan kebenaran. Bangsa Indonesia, menurut mereka, tidak dapat maju dengan menutupi luka sejarah, melainkan dengan mengakuinya secara jujur.
Red.